Saat ini masyarakat tengah menunggu Putusan Mahkamah Konstitusi tentang sistem pemilu terbuka atau tertutup pada pemilu 2024, terkhusus mahasiswa dalam fungsinya sebagai agent of social control harus melek terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh setiap cabang kekuasaan yang ada dalam negara Indonesia salah satunya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi.
Sebelum menyoroti terkait system pemilu tertup dan terbuka, kita harus menyoroti terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. UUD Tahun 1945 Pasal 24 C ayat (1) mengamanatkan MK untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, artinya MK hanyalah sebagai negative legislator yang hanya menyatakan batal dan tidak. Dalam konteks proporsional terbuka dan tertutup, ketika memang MK memutuskan proporsional tertutup artinya MK mengeluarkan putusan dengan membuat norma baru, padahal itu merupakan open legal policy yang mekanisme tersebut merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah sebagai positive legislator.
Proporsional terbuka dan tertutup merupakan mekanisme dalam pemilihan yang ada dalam penyelenggaraan pemilu yang diselenggarakan oleh KPU. Proporsional terbuka pemilih dapat memilih daftar nama calon legislative, sehingga ada kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih. Sedangkan dalam proporsional tertutup secara teknis pemilihan hanya dapat memilih gambar partai saja, hal itu dikira mampu menguatkan ideologi kader dari partai politik serta dapat memperkuat proses perkaderan yang sistematis (bukan yang punya uang saja bisa nyalon).
Namaun dalam konteks demokrasi bisa diwujudkan oleh kedua system tersebut. Sebelumya pada masa orde baru memakai system proporsional tertutup, setelah itu pemilu 2009-2019 memakai system proporsional terbuka.
Melihat dari segi historis penerapan sistem proporsional terbuka dan tertutup, membentuk suatu negara itu menyesuaikan situasi dan kondisi pada era nya masing-masing. kalau memang proporsional tertutup dikira relevan untuk system pemilu sekarang ya boleh-boleh saja. Akan tetapi yang menjadi prinsipnya dalam mnentukan suatu kebijakan jangan tergesa-gesa.
Maka dari itu Mahkamah Kontitusi harus secara matang untuk menimbang putusan tersebut. Namun apakah hal itu sesuai dengan kewenangan MK dalam memutuskan sistem pemilu terbuka dan tertutup? Atau malah MK membuat preseden yang buruk dalam praktek peradilan? Maka dari itu menurut saya, hal tersebut bukan kewenangan MK untuk memberlakukan system proporsional terbuka atau tertutup, hal itu menjadi kewengan dari DPR dan Pemerintah.
Namun dalam prakteknya MK juga diberi amanat kontitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna mengakan hukum dan keadilan yang dikenal dengan judicial activism. Akan tetapi jangan sampai praktek judicial activism, bisa mengancam demokrasi seperti apa yang diklaim oleh William marshal dalam tulisanya.
Semua itu tergantung pada situasi dan kondisi yang ada jiika kondisinya seperti saat ini proses pemilu yang sudah berlangsung, tentunya implikasinya sangat jelas terhadap proses pemilu yang berjalan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar Anda